Lembaga-Lembaga Negara adalah alat perlengkapan Negara sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-undang Dasar 1945, yaitu:
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah salah
satu lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggotaDewan
Perwakilan Daerah. Dahulu sebelum Reformasi MPR merupakan Lembaga
Negara Tertinggi, yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan
Daerah, dan Utusan Golongan
Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692
orang, terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota
MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji.
Tugas dan wewenang MPR antara lain:
- Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar)
- Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
- Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
- Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
- Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
- Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.
Anggota MPR memiliki hak mengajukan usul
perubahan pasal-pasal UUD, menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan
putusan, hak imunitas, dan hak protokoler. Setelah Sidang MPR 2003, Presiden
dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi oleh MPR. MPR
bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR
untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR
untuk mengubah dan menetapkan UUD
sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR
sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR
yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah
Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Sebelum mengambil putusan dengan suara yang
terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah
untuk mencapai mufakat.
Berdasarkan UUD 1945 (sebelum
perubahan), MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang dan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi
terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. Kini MPR berkedudukan sebagai
lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti
Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.
MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk
menetapkan GBHN. Selain itu, MPR tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR
(TAP MPR), kecuali yang berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden,
memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan
Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersama-sama. Hal ini berimplikasi pada materi dan status hukum
Ketetapan MPRS/MPR yang telah dihasilkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun
2002.
Saat ini Ketetapan MPR (TAP MPR) tidak lagi
menjadi bagian dari hierarki Peraturan Perundang-undangan. Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota dari Dewan Perwakilan
Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan
menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Undang-undang yang
mengatur susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dewasa ini ialah Undang-Undang
No. 16 tahun 1969 jo. UU No. 5 Tahun 1975, tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
adalah :
- Menetapkan Undang-Undang Dasar.
- Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
- Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
- MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya.
- Presiden dan Wakil Presiden
- Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, dan dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh Wakil Presiden. (Pasal 4) Presiden berhak mengajukan RUU, dan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UU (Pasal 5).
- Tugas dan wewenang Presiden antara lain:
- Memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL dan AU (Pasal 10).
- Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain dengan persetujuan DPR, terutama yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi Negara (Pasal 11).
- Menyatakan keadaan bahaya, yang syarat dan akibatnya ditetapkan dengan UU (Pasal 12).
- Mengangkat dan menerima duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13).
- Presiden memberikan grasi dengan pertimbangan MA, dan memberikan amnesty dan abolisi dengan pertimbangan DPR (Pasal 14).
- Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan menurut UU (Pasal 15).
- Presiden membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasehat dan pertimbangan kepada Presiden (Pasal 16).
- Presiden juga berhak mengangkat menteri-menteri sebagai pembantu Presiden (Pasal 17).
- Dewan Perwakilan Rakyat(DPR)
- Dewan Perwakilan Rakyat adalahlembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentukUndang-Undang. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang dipilih berdasarkan hasil Pemilihan Umum. Anggota DPR periode 2009–2014 berjumlah 560 orang. Masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
- Sejarah DPR RI dimulai sejak dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden pada tanggal29 Agustus 1945 di Gedung Kesenian, Pasar Baru Jakarta yang kemudian dijadikan sebagai hari lahir DPR RI.
- Tugas dan wewenang DPR antara lain:
- Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
- Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
- Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
- Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah
- Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD
- Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
- Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial
- Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
- Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
- Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi
- Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain
- Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
- Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
- Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
Pada anggota DPR melekat hak ajudikasi dan legislasi yakni
berupa hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPR juga memiliki hak
mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela
diri, hak imunitas, serta hak protokoler.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR
berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak dipatuhi,
maka dapat dikenakan panggilan paksa (sesuai dengan peraturan
perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa alasan yang
sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari (sesuai dengan
peraturan perundang-undangan).
Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
Pimpinan
Kedudukan Pimpinan dalam DPR dapat dikatakan
sebagai Juru Bicara Parlemen. Fungsi pokoknya secara umum adalah mewakili DPR
secara simbolis dalam berhubungan dengan lembaga eksekutif, lembaga-lembaga
tinggi negara lain, dan lembaga-lembaga internasional, serta memimpin jalannya administratif
kelembagaan secara umum, termasuk memimpin rapat-rapat paripurna dan menetapkan
sanksi atau rehabilitasi. Pimpinan DPR bersifat kolektif kolegial, terdiri dari
seorang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPR
dalam Sidang Paripurna DPR.
Badan Musyawarah
Bamus merupakan miniatur DPR. Sebagian besar
keputusan penting DPR digodok terlebih dahulu di Bamus, sebelum dibahas dalam
Rapat Paripurna sebagai forum tertinggi di DPR yang dapat mengubah putusan
Bamus. Bamus antara lain memiliki tugas menetapkan acara DPR, termasuk mengenai
perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian dan
prioritas RUU).
Pembentukan Bamus sendiri dilakukan oleh DPR
melalui Rapat Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR. Anggota Bamus
berjumlah sebanyak-banyaknya sepersepuluh dari anggota DPR, berdasarkan
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Pimpinan Bamus langsung dipegang
oleh Pimpinan DPR.
Badan Anggaran
Badan Anggaran DPR dibentuk oleh DPR dan
merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap yang memiliki tugas pokok
melakukan pembahasan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Susunan keanggotaan Badan Anggaran
ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan DPR. Susunan keanggotaan Badan
Anggaran terdiri atas anggota-anggota seluruh unsur Komisi dengan memperhatikan
perimbangan jumlah anggota Fraksi.
Badan Kehormatan
Badan Kehormatan (BK) DPR merupakan alat
kelengkapan paling muda saat ini di DPR. BK merupakan salah satu alat
kelengkapan yang bersifat sementara. Pembentukan DK di DPR merupakan respon
atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota dewan yang buruk,
misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan.
BK DPR melakukan penelitian dan pemeriksaan
terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR, dan pada akhirnya
memberikan laporan akhir berupa rekomendasi kepada Pimpinan DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau merehabilitasi nama baik Anggota.
Rapat-rapat Dewan Kehormatan bersifat tertutup. Tugas Dewan Kehormatan dianggap
selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada Pimpinan DPR.
Badan Legislasi
Badan Legislasi (Baleg) merupakan alat
kelengkapan DPR yang lahir pasca Perubahan
Pertama UUD 1945, dan dibentuk pada tahun 2000.
Tugas pokok Baleg antara lain: merencanakan dan menyusun program serta urutan
prioritas pembahasan RUU untuk satu masa keanggotaan DPR dan setiap tahun
anggaran. Baleg juga melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata tertib DPR dan
kode etik anggota DPR.
Badan Legislasi dibentuk DPR dalam Rapat
paripurna, dan susunan keanggotaannya ditetapkan pada permulaan masa
keanggotaan DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Keanggotaan Badan Legislasi tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan
Komisi, keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan keanggotaan Badan
Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP).
Badan Urusan Rumah Tangga
Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR bertugas
menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPR. Salah satu tugasnya yang berkaitan
bidang keuangan/administratif anggota dewan adalah membantu pimpinan DPR dalam
menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPR, termasuk kesejahteraan Anggota dan
Pegawai Sekretariat Jenderal DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah.
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang
selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan
DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada
permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BKSAP
ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah
anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan
tahun sidang. Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat
kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak
3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota
tiap-tiap fraksi.
BKSAP bertugas:
Membina, mengembangkan, dan meningkatkan
hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen
negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi
internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;
Menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain
yang menjadi tamu DPR;
Mengoordinasikan kunjungan kerja alat
kelengkapan DPR ke luar negeri;
Memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR
tentang masalah kerja sama antarparlemen.
Panitia Khusus
Jika dipandang perlu, DPR (atau alat kelengkapan
DPR) dapat membentuk panitia yang bersifat sementara yang disebut Panitia
Khusus (Pansus). Komposisi keanggotaan Pansus ditetapkan oleh rapat paripurna
berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pansus bertugas
melaksanakan tugas tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna, dan
dibubarkan setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya
dinyatakan selesai. Pansus mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk selanjutnya
dibahas dalam rapat paripurna.
DPR dalam permulaan masa keanggotaan dan
permulaan tahun sidang DPR membuat susunan dan keanggotaan Badan Akuntabilitas
Keuangan Negara (BAKN) yang beranggotakan paling sedikit tujuh orang dan paling
banyak sembilan orang atas usul dari fraksi-fraksi DPR yang selanjutnya akan
ditetapkan dalam rapat paripurna dengan tugas untuk penelaahan setiap temuan
hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
Struktur Lembaga Negara RI
Anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan
pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan
ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut
tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah
disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai
pengumuman rahasia negara.
Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan
sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, pegawai negeri
sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD atau badan lain yang
anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
Anggota DPR juga tidak boleh melakukan pekerjaan
sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik,
konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang
ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR.
Jika anggota DPR diduga melakukan perbuatan
pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat
persetujuan tertulis dari Presiden. Ketentuan ini tidak berlaku apabila anggota
DPR melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.
Komposisi DPR saat ini adalah komposisi yang
berdasarkan Pemilu 2009. Anggota-anggota DPR yang
terpilih berdasarkan Pemilu tersebut mengelompokkan diri kedalam fraksi-fraksi.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas
DPR, dibentuk Sekretariat Jenderal DPR yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden, dan personelnya terdiri atas Pegawai Negeri
Sipil. Sekretariat Jenderal DPR dipimpin seorang Sekretaris Jenderal
yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan
DPR.
Untuk meningkatkan kinerja lembaga dan membantu
pelaksanaan fungsi dan tugas DPR secara profesional, dapat diangkat sejumlah
pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan. Para pakar/ahli tersebut berada di bawah
koordinasi Sekretariat Jenderal DPR.
Keanggotaan DPR dipilih melalui pemilu. DPR
bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 19). DPR memegang kekuasaan
membentuk UU, dan setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden secara bersama-sama
dan selanjutnya disahkan oleh Presiden.
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Dan untuk itu DPR diberikan hak-hak interpelasi, angket, menyatakan
pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat serta imunitas
(Pasal 20). Fungsi DPR adalah sebagai berikut:
Fungsi legislasi berkaitan dengan wewenang DPR
dalam pembentukan undang-undang.
Fungsi anggaran, berwenang menyusun dan
menetapkan RAPBN bersama presiden.
Fungsi pengawasan, melakukan pengawasan terhadap
pemerintah.
DPR diberikan hak-hak yang diatur dalam
pasal-pasal UUD 1945, antara lain:
Hak interpelasi, hak DPR untuk meminta
keterangan pada presiden.
Hak angket, hak DPR untuk mengadakan
penyelidikan atas suatu kebijakan Presiden/ Pemerintah.
Hak menyampaikan pendapat.
Hak mengajukan pertanyaan.
Hak Imunitas, hak DPR untuk tidak dituntut dalam
pengadilan.
Hak mengajukan usul RUU
Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (Pasal
21). Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu, dan
pada masa persidangan DPR berikutnya Perpu tersebut harus dimintakan
persetujuan DPR. Apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perpu harus dicabut(Pasal
22). Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, dengan syarat-syarat dan
tata cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 22B).
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Visi
Visi suatu organisasi atau lembaga pada dasarnya
adalah pernyataan cita-cita yang hendak dicapai atau dituju oleh lembaga atau
organisasi yang bersangkutan. Secara normatif, rumusan visi tersebut menjadi
pedoman dasar semua arah kebijakan, keputusan, dan tindakan yang akan
dilakukan. Karena itu, visi juga merupakan pernyataan pikiran dan kehendak
untuk berubah dari keadaan yang ada saat ini (das sein) ke suatu keadaan yang
diinginkan (das sollen).
Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(DPD RI) saat ini masih terbentur pada satu masalah utama, yakni keberadaannya
yang nisbi dan ‘serba-tanggung’ sebagai suatu lembaga legislatif. Gagasan dasar
pembentukan sebagai suatu lembaga pengimbang (check and balance) kekuasaan,
baik di lingkungan lembaga legislatif sendiri (DPR dan MPR RI) maupun di
lembaga-lembaga eksekutif (pemerintah), belum sepenuhnya berfungsi secara
optimal dan efektif.
Ada beberapa penyebab utama yang dapat
diidentifikasi, setidaknya sampai saat ini, yakni:
Keberadaannya sebagai suatu lembaga baru belum
menemukan format kerja dan struktur kelembagaan yang memadai;
Sebagian besar anggotanya adalah orang-orang
baru dalam dunia politik yang belum memiliki pengalaman nyata dalam
praktik-praktik sistem politik Indonesia selama ini;
Batasan fungsi dan kewenangan yang ada belum
memiliki kekuatan penuh dalam proses legislasi.
Berdasarkan masalah pokok dan mendasar itulah,
rumusan visi DPD RI yang disepakati pada Lokakarya Perencanaan Strategis DPD
RI, 30 Agustus-1 September 2005 adalah sebagai berikut :
Terwujudnya Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga legislatif yang kuat, setaradan efektif
dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah menuju masyarakat Indonesia
yang bermartabat, sejahtera, dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Misi
Berdasarkan visi tersebut, rumusan misi DPD RI
masa bakti 2004–2009, disepakati sebagai berikut:
Memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah untuk
mewujudkan pemerataan pembangunan kesejahteraan rakyat dalam rangka memperkukuh
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkesinambungan.
Mendorong perhatian yang lebih besar dari
pemerintah pusat terhadap isu-isu penting di daerah.
Memperjuangkan penguatan status DPD RI sebagai
salah satu badan legislatif dengan fungsi dan kewenangan penuh untuk mengajukan
usul, ikut membahas, memberikan pertimbangan, dan melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang, terutama yang menyangkut kepentingan daerah.
Meningkatkan fungsi dan wewenang DPD RI untuk
memperkuat sistem check and balance melalui amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Mengembangkan pola hubungan dan kerja sama yang
sinergis dan strategis dengan pemilik kepentinganutama di daerah dan di pusat.
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilu, setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggta DPD tidak
lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun (Pasal 22C).
DPD berhak mengajukan RUU kepada DPR dan ikut
membahasnya yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat-daerah, serta memberi
pertimbangan atas RUU APBN yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
(Pasal 22D). DPD dapat melakukan pengawasan terhadap UU yang usulan dan
pembahasannya dimiliki oleh DPD.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 dan 50
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD,
dan DPRD bahwa Anggota DPD mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
Hak
Menyampaikan usul dan pendapat;
Memilih dan dipilih;
Membela diri;
Imunitas;
Protokoler;
Keuangan dan administratif.
Mengamalkan Pancasila;
Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional
dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan
rakyat;
Menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah;
Mendahulukan kepentingan negara di atas
kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan
politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD;
dan
Menjaga etika dan norma adat daerah yang
diwakilinya.
Kewajiban
Berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu
mempertegas fungsi politik legislatif Anggota DPD RI yang meliputi
representasi, legislasi dan pengawasan yang dicirikan oleh sifat kekuatan
mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat “otoritatif” atau mandat rakyat
kepada Anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau “binding” yaitu ciri
melekatnya pemikiran dan langkah kerja Anggota DPD RI yang semata-mata
didasarkan pada kepentingan dan keberpihakan pada rakyat daerah.
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Dalam rangka pelaksanaan Pemilu agar
terselenggara sesuai asas (Iuberjudil), maka dibentuklah sebuah komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (Pasal 22E). KPU
selain ada ditingkat pusat, juga terdapat KPU daerah baik di provinsi maupun
kabupaten/kota.
Bank Sentral
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur
dengan UU (Pasal 23D).
Badan Pengawas Keuangan (BPK)
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan
bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu
Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah
dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946
tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang
berkedudukan sementara dikota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan
hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan
dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua
instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam
memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih
menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan
tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan
IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6
Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari
Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta
tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun
1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden
RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember
1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang
merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R.
Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor
di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah
Netherland Indies Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang
menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas
Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan
berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.Dengan terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan
RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan
Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati
bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan
RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene
Rekenkamer di Bogor.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah
menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas
Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan
berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap
menggunakan ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi
Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960
serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan
untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat
kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober
1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah
UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai
Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi
atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI
berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan
No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula
sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu
diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun
1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan
Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam
Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga
pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP
MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan
Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan
negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen
dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan
yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen
BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalamPerubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan
menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G)
dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan
seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
Visi
Menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang
bebas, mandiri, dan profesional serta berperan aktif dalam mewujudkan tata
kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan.
Misi
Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara dalam rangka mendorong terwujudnya akuntabilitas dan
transparansi keuangan negara, serta berperan aktif dalam mewujudkan pemerintah
yang baik, bersih, dan transparan.
Tujuan Strategis
Mewujudkan BPK sebagai lembaga pemeriksa
keuangan negara yang independen dan professional.
BPK mengedepankan nilai-nilai independensi dan
profesionalisme dalam semua aspek tugasnya menuju terwujudnya akuntabilitas dan
transparansi pengelolaan keuangan negara.
Memenuhi semua kebutuhan dan harapan pemilik
kepentingan
BPK bertujuan memenuhi kebutuhan dan harapan
pemilik kepentingan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan masyarakat pada
umumnya dengan menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu kepada pemilik
kepentingan atas penggunaan, pengelolaan, keefektifan, dan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan negara.
Mewujudkan BPK sebagai pusat regulator di bidang
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
BPK bertujuan menjadi pusat pengaturan di bidang
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
berkekuatan hukum mengikat, yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, wewenang
dan fungsi BPK sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
BPK bertujuan untuk mendorong peningkatan
pengelolaan keuangan negara dengan menetapkan standar yang efektif,
mengidentifikasi penyimpangan, meningkatkan sistem pengendalian intern,
menyampaikan temuan dan rekomendasi kepada pemilik kepentingan, dan menilai
efektivitas tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Nilai-Nilai Dasar
Independensi
BPK RI adalah lembaga negara yang independen di
bidang organisasi, legislasi, dan anggaran serta bebas dari pengaruh lembaga
negara lainnya.
Integritas
BPK RI menjunjung tinggi integritas dengan
mewajibkan setiap pemeriksa dalam melaksanakan tugasnya, menjunjung tinggi Kode
Etik Pemeriksa dan Standar Perilaku Profesional.
Profesionalisme
BPK RI melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesionalisme pemeriksaan keuangan negara, kode etik, dan nilai-nilai
kelembagaan organisasi.
Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam
lingkungan :
Peradilan Umum pada tingkat pertama dilakukan
oleh Pengadilan Negeri,
pada tingkat banding dilakukan olehPengadilan Tinggi dan pada tingkat
kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
Peradilan Agama pada tingkat pertama dilakukan
oleh Pengadilan Agama,
pada tingkat banding dilakukan olehPengadilan
Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung
Peradilan Militer pada tingkat pertama dilakukan
oleh Pengadilan Militer,
pada tingkat banding dilakukan olehPengadilan
Tinggi Militer dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung
Peradilan Tata Usaha negara pada tingkat pertama
dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha negara, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh
Mahkamah Agung
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan
wewenang MA adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden
member grasi dan rehabilitasi
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua.
Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh
Presiden. Ketuanya sejak 15 Januari 2009 adalah Harifin A. Tumpa.
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim
agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal
dari sistem karier (hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan
profesi atau akademisi.
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,
dan dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha Negara, dan sebuah
Mahkamah Konstitusi (Pasal 24). MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU. Hakim Agung harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan
berpengalaman di bidang hukum. Calon Hakim Agung diusulkan komisi yudisial
kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Presiden. Ketua dan
Wakil MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung (Pasal 24A).
Komisi Yudisial
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Anggota komisi yudisial harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota
komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR
(Pasal 24B).
Mahkamah Konstitusi(MK)
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Sejarah berdirinya MK diawali dengan Perubahan
Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B yang disahkan pada 9 November 2001.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu
pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan
fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan
UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam,
DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden
pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden
mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16
Agustus 2003.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan
wewenang MK adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan
Umum
Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran olehPresiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UUD 1945.
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh
Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3
tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim
Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua
Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya
(hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru
besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini
terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal19 Agustus 2003.
Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan
disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan
Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Maerzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim
pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan
Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan
cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di
Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil
dipandang sebagai salah satu icon keberhasilan reformasi Indonesia. Selama 5
tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan sangat
baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah dan oleh banyak
sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan
studi tour. Pada 19 Agustus 2008,
Hakim Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan voting
untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu
2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua
serta Abdul Mukthie
Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu,
pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH mengunduran diri dari
anggota MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas
Indonesia.
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden.
Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung,
3 orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim
Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan
berikutnya.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilu. MK wajib memberi
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil
menurut UUD. MK mempunyai 9 anggota hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden
masing-masing 3 orang diajukan oleh MA, DPR, dan Presiden. Ketua dan wakil
ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
Negara (Pasal 24C0). MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan
sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA (Pasal III AP).
Saat ini masih banyak pihak belum memahami
secara utuh tatanan kelembagaan negara dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
sehingga sering timbul perdebatan publik dan masalah hubungan antarlembaga
negara.
Apalagi, lembaga- lembaga negara telah mengalami
perubahan mendasar hasil UUD 1945 Perubahan yang tentu tidak dapat dipahami
berdasarkan paradigma UUD 1945 sebelum perubahan. Perubahan mendasar yang
memengaruhi tatanan kelembagaan negara adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD. Sebelum perubahan,kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh
MPR. Perubahan tersebut mengakibatkan :
MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi.
Lemmbaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD
1945 merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sesuai dengan kedudukan,tugas,dan
fungsi masing- masing.Hal tersebut mengakibatkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/
1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/ atau
antar-Lembaga-Lembaga Tinggi Negara tidak berlaku lagi. Kelembagaan negara
berdasarkan UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori.Pertama,
lembaga-lembaga utama yang melaksanakan cabang kekuasaan tertentu. Kedua,
lembaga-lembaga negara yang bukan pelaksana salah satu cabang kekuasaan, tetapi
keberadaannya diperlukan untuk mendukung salah satu lembaga pelaksana cabang
kekuasaan tertentu.
Lembaga-lembaga yang ditentukan untuk
melaksanakan kekuasaan tertentu tanpa mengatur nama dan pembentukan lembaganya.
Lembaga yang ditentukan secara umum dan
menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada undang-undang.Kelima,
lembaga-lembaga yang berada di bawah presiden untuk melaksanakan fungsi-fungsi
tertentu.Keenam, lembaga- lembaga di tingkat daerah. Berdasarkan pembagian
fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945,dapat
diketahui lembaga-lembaga negara yang melaksanakan tiap kekuasaan tersebut.
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi
adalah presiden. Pemegang kekuasaan legislatif adalah DPR.Untuk kekuasaan
yudikatif ditentukan pelakunya adalah MA dan MK. Selain lembaga-lembaga negara
tersebut, terdapat lembaga negara lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan
negara dan kedudukannya sederajat. Lembaga negara lain tersebut adalah MPR yang
memegang kekuasaan mengubah dan menetapkan UUD,BPK sebagai pelaksana kekuasaan
auditif serta DPD yang walaupun tidak memegang kekuasaan legislatif memiliki
peran dalam proses legislasi (co-legislator).
Dengan demikian lembaga-lembaga itu sesungguhnya
adalah bagian dari organisasi pemerintahan secara nasional walaupun ada yang
menjalankan fungsi legislasi di tingkat daerah. Jika penataan lembaga
negara melalui ketentuan peraturan perundang undangan telah dilakukan, setiap
lembaga negara dapat menjalankan wewenang sesuai dengan kedudukan
masing-masing. Hal itu akan mewujudkan kerja sama dan hubungan yang harmonis
demi pencapaian tujuan nasional dengan tetap saling mengawasi dan mengimbangi
agar tidak terjadi penyalahgunaan dan konsentrasi kekuasaan.
SUMBER :
http://bolmerhutasoit.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar